Senin, 16 Juni 2014

5. AJARAN BUDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM

AJARAN BUDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
  1. Ajaran Budha tentang manusia
Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu:
  1.  Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk), adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh.
  2. Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan), adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang, susah ataupun netral.
  3. Sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
  4. Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Bentuk-bentuk pikiran disini ada 50 macam, seperti lobha (keserakahan), chanda (keinginan), sadha(keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya.
  5. Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang beradasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan obyek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah pada yang buruk, yang baik atau netral.[1]
Kelima Kandha tersebut sering diringkas menjadi dua yaitu nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat digolongkan sebagai unsur-unsur rohaniah. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri dari empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
            Pemikiran tentang manusia dalam agama Budha adalah unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.
            Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau tetap.[2]Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand Russel “Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Umat Budha setuju dengan pendapat Bertrand Russel yang menyatakan “Jelas terdapat beberapa alasan dimana aku sekarang merupakan orang yang sama dengan aku kemarin, dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila aku melihat seseorang dan mendengar ia bicara maka terdapat suatu pengertian di mana “aku” yang mendengar.[3] Anatma dapat diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu:
  1. Tidak terlalu mementingkan diri
  2. Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja,
  3. Bila tingkatan pengetahiuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan akan pengetahuan dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa aku.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus dapat diidentifikaikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.[4]
Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.[5]
            Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
  1. Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
  2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
  3. Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
            Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
            Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancuran anavas, yaitu sifat-sifat induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada hal-hal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali.
            Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.[6]
  1. Ajaran Budha tentang Alam
Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka, menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.
Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan b
ahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.”[7]
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”.[8]
Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.[9]
Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
  1. Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
  2. Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
  3. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
  4. Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.[10]
Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha.
Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.
Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang alam semesta ditujukan untuk memungkinkan manusia untuk menguasai demi kenyamanan material dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan bahwa tidak ada pengetahuan nyata apapun yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit.[11]
Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolong-golongkan atas shankharaloka, sattaloka, okasaloka.
Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas.
Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Dalam sattaloka ada 31 alam kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Kamaloka, yaitu alam kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca indranya.[12] Meliputi 11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a.)    Apaya-Bumi, meliputi:
  1. Alam neraka
  2. Alam binatang
  3. Alam syetan
  4. Alam raksasa asuro.
b.)    Kamasugatu-Bhumi, meliputi:
  1.  Alam para Dewata yang menikmati ciptaan-ciptaan lain,
  2. Alam dewata yang menikmati ciptaannya sendiri,
  3. Alam dewata yang menikmati kesenangan,
  4. Alam dewata Yama,
  5. Alam 33 dewata
10.  Alam tempat Maharaja
11.  Jagat manusia[13]
Jadi Brahma tidak dapat dikatakan Tuhan yang Maha Esa karena masih berada dalam Samsaracakra yaitu lingkaran roda samsara yaitu Roda kelahiran dan kematian. Di dalam samsaracakra ada tiga alam yaitu alam Brahma tanpa wujud, alam Brahma berujud dan alam Kamaloka. Kamaloka terdiri dari Sorgaloka dan Bumi loka yaitu alam yang dihuni oleh para Dewa dan umat manusia. Brahmaloka maupun Kamaloka ini diciptakan, dilahirkan karena dialam-alam tersebut masih ada penderitaan, umur tua dan mati.[14]
  1. Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma. Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
a.)    Pathama Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama
12.  Brahma Parisajja: alam pengikut Brahma
13.  Brahma Purohita: alam para mentrinya Brahma
14.  Maha Brahma: alam Brahma yang besar.
b.)    Dutiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua
15.  Brahma Parittabha: alam para Brahma yang kurang bercahaya
16.  Brahma Appamanabha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
17.  Brahma Abbhassana: alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
c.)    Tatiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga:
18.  Brahma Parittasubha: alam para Brahma yang kurang auranya,
19.  Brahma Appamanasubha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya
20.  Brahma Subhakinha: alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
d.)   Catutha Jhana Bhumi, yaitu ada 7 alam Jhana yang keempat,
21.  Brahma Vehapphala: alam para Brahma yang besar pahalanya,
22.  Brahma Asannasatta: ialah alam para Brahma yang kosong dari kesadaran,
23.  Brahma Aviha: alam kediaman para makhluk yang tidak bergerak,
24.  Brahma Atappa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang suci,
25.  Brahma Suddassa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang indah,
26.  Brahma Sudassi: alam keidiaman para makhluk/Brahma yang terang,
27.  Brahma Akanittha: alam kediaman para makhluk/Brahma yang luhur.[15]
  1. Arupaloka (alam tanpa bentuk) adalah alam dewa yang tidak berbadan. Ada 4 alam, yaitu:
28.  Akasanancayatana: keadaan konsepsi ruangan yang tanpa batas,
29.  Vinnanancayatana: keadaan konsepsi kesadaran yang tanpa batas,
30.  Akincannayatana: keadaan konspsi kekosongan,
31.  Nevasannanasannayatana: keadaan konsepsi bukan pencerapan pun bukan tidak pencerapan.
Okasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah okasaloka tempat manusia hidup dan tempat makhluk lain.
            Seprti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama Budha, alam tersebut di atas bukan diciptakan  Tuhan, dan Tuhan tidak mengaturnya. Agama Budha selalu menghindari membicarakan persoalan hubungan Tuhan atau alam mutlak dengan alam yang tidak mutlak Karena dikhawatirkan dapat menimbulkan problem metafisika yang tidak habisnya. Segala sesuatu di alam ini dikembalikan dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di mana-mana (hukum). Hukum yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur tata tertib alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
            Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang dapat digolongkan menjadi lima:
  1. Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energy.
  2. Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis.
  3. Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
  4. Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa batiniah.
  5. Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh kekuatan di luar hukum yang berlaku.[16]
  1. Konsep alam surga dan neraka
Surga adalah tempat sementara di mana mereka yang telah berbuat baik mengalami lebih banyak kesenangan inderawi selama jangka waktu yang lebih lama. Neraka adalah tempat sementara lainnya di mana para pelaku kejahatan mengalami lebih banyak penderitaan fisik dan mental. Tidak dapat dibenarkan untuk percaya bahwa tempat-tempat semacam itu adalah abadi. Tidak ada Tuhan di belakang layar surga dan neraka. Setiap orang mengalami kesakitan atau kesenangan tergantung dari kamma baik dan buruknya. Menurut Budha, dalam neraka akan terbakar oleh sebelas jenis kesakitan fisik dan mental: nafsu, kebencian, khayalan, derita, kehancuran, kematian, kecemasan, ratapan, rasa sakit, kemurungan, dan kesedihan.
Definisi surga dan neraka adalah di mana pun  ada lebih banyak penderitaan, baik di dunia maupun di tempat lain, tempat itu adalah neraka bagi yang menderita. Dan di mana ada lebih banyak kebahagiaan atau kesenangan baik di dunia maupun di tempat keberadaan lain, tempat itu adalah surga bagi mereka yang menikmati kehidupan duniawinya di tempat itu. Karena alam manusia adalah campuran dari penderitaan dan kebahagiaan, manusia mengalami keduanya dan akan dapat menyadari sifat sejati kehidupan.[17]
Kesimpulan
Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu:
  1.  Rupakhandha
  2. Vedanakhandha
  3. Sannakhandha
  4. Shankharakhandha
  5. Vinnanakhandha
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
  1. Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
  2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
  3. Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau tetap. Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand Russel “Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir.
Terjadinya alam ini dikaitkan dengan Patticasamuppada. Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
  1. Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
  2. Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
  3. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
  4. Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
Alam didolong-golongkan atas:
Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas.
Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Alam ini terdiri dari 31 alam, yaitu:
  • 4 Alam Kesengsaraan atau Alam Submanusia: alam neraka, alam hewan, alam hantu, alam asuro.
  • 1 Alam Manusia
  • 6 Alam Dewa
  • 16 Alam Bentuk
  • 4 alam Tanpa Bentuk
Okasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah okasaloka tempat manusia hidup dan tempat makhluk lain.
Menurut Budha alam di dunia ini tidak diciptakan oleh Tuhan ataupun sang Budha. Tuhan tidak mengatur alam ini. Yang mengatur adalah Dharma yaitu hukum yang pasti. Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang dapat digolongkan menjadi lima:
  1. Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energy.
  2. Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis.
  3. Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
  4. Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa batiniah.
10.  Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh kekuatan di luar hukum yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

--------. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia. 1980.
---------. Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation. 2005.
Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988.
Dammananda, Sri. Keyakinan Umat Budha. Penerjemah: Ida Kurniati. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation. 2005.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 1987.
Wuryanto, Joko dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.).  Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa.Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi. 2003.



[1] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 124

[2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1987), h. 78
[3] Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.), Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa (Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 66
[4] ---------, Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation, 2005), h. 81
[5] Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.), Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa (Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 69.
[6] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 126
[7] Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, penerjemah: Ida Kurniati (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation, 2005), h. 432.
[8] --------, Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia, 1980), h.272
[9]---------, Jadilah Pelita Ajaran Univeral Budha (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassako Foundation, 2005), h. 249
[10] --------, Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia, 1980), h. 272
[11] Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, h. 439
[12] --------, Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: Majlis Budhayana Indonesia, 1980), h. 300
[13] -------, Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 304
[14] Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.), Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa (Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 53.
[15] -------, Kebahagiaan dalam Dhamma, hal. 305-308
[16] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, h. 121
[17] Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, h. 441

Tidak ada komentar:

Posting Komentar