Pendahuluan
Dalam agama Hindu banyak terdapat praktek-praktek upacara dalam kegiatan yang menyangkut kegiatan keseharian serta kerohanian yang mereka jalani dalan kesehariannya.Seperti bagaima menusia yang masih dalam benih sang ibu,saat ia dilahirkan sampai menuju jenjang perkawinan.
Upacara bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat nanti.
Tata cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam kandungan selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra MatrpujaNadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.[1]
Kelahiran bayi
Upacara Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan ketika sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada disekitarnya.
Tata cara upacara Jatakarma
Pusar si bayi dibungkus dalam secarik kain lalu dimasukkan ke dalam sebuah kulit ketupat kecil,disertai dengan sejenis rempah-rempah yang khasiatnya menghangatkan,seperti cengkeh.Lalu ketupat kecil ini digantung menghadap arah kaki tempat tidur si bayi
.Terdapat tiga macam tujuan dari upacara ini,yaitu
- Medha Jhana,yaitu diadakan upacara ini untuk menumbuhkan intelektual atau kepintaran anak.Pada saat upacar berlangsung,sang ayah memberikan satu sendok kecil madu atau minyak dari susu kepada bayinya,di telinga bayi itu sang ayah mengucapkan mantra Gayatri.Tujuan dari semua ini adalah agar bayi tumbuh cerdas ,rupa yang bagus,dan kesehatan yang baik karena unsure madu dan minyak susu itu merupakan sumber kecerdasan,wajah dan kesehatan.
- Ayusya,yaitu upacara yang bertujukan adanya umur panjang bagi si bayi tersebut.Pada telinga kanannya,sang ayah mengucapkan mantra yang berbunyi :”Api adalah berumur panjang,melalui dewa api memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,air adalah berumur panjang,melalui dewa air memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,laut adalah umur panjang…..”dan seterusnya.
- Kekuatan juga dimohonkan untuk pengucapan mantra-mantra kehadapan tuhan,antara lain: Anggad anggad sambhaswasi hrdayadaadhhijase,atma wai putranawabhasi sajiwa saradah satam.Artinya :jadikanlah sekuat batu,jadikanlah sekuat baja,jadikanlah sekuat emas anak kami ya Tuhan,semoga menganugrahi kehidupan seratus tahun.[2]
Perbedaan-perbedaan
Terdapat beberapa perbedaan dalam upacara Jatakarma dalam umat Hindu di India dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India sehari sebelum melahirkan,sang ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah disediakan khusus untuk proses kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa untuk mengusir kekuatan negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife yang akan masuk.Pada saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu kamar dibuka tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga digunakan di Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula diucapkan doa-doa untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan negative.Pada tradisi umat Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun upacara mengenai ari-ari.
Lain pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan umat Hindu di Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat itu juga bayi itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula dibuatkan sebuah tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang Hyang Kumara ini ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta pelindung anank-anak yang seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen untuk Kumara ini berisi nasi putih dan nasi kuning yang berisikan telur dadar,sepotong kecil pisang mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang direbus),serta minyak wangi dan bunga-bungaan yang harum,terutama yang berwarna putih dan kuning.Dalam kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah seorang dewa yamg tidak mau mempunyai keturunan sehinnga tetap sebagai teap menjadi anak-anak,tetap suci dan lugu,Jika seorang bayi tertawa kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main dengan penjaganya yaitu Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini termasuk masalah penting dalam penanganannya.
Upacara setelah kelahiran bayi
Upacara Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian nama terhadap Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak yang dilaksanakan ketika bayi berumur 12 hari.Tujuan dari upacara ini adalah untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
Tata cara upacara Bajong Colong
Sejumlah lilin dinyalakan dan potongan lidi berisi kapas dibasahi oleh minyak yang dsulut api atau di Bali disebut dengan Linting.Jumlah Linting yang digunakan adalah jumlah sesuai” urip”kelahiran bayi tersebut.Pada setiap Linting digantungkan daun rontal atau kertas yang telah disiapkan nama-nama yang telah disiapkan oleh orangtuanya,hal demikian dilakukan pada zaman dahulu ,sekarang pemberian ataupun penambahan atau penggantian nama tidak lagi menggunakan ketentuan ini lagi,sekarang begitu bayi lahir telah disiapkan namanya.
Upacara kambuhan
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci.
Upacara Tigang Sasih
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur tiga bulan,di India upacara ini disebut Niskarmana,yang berarti dalam bahasa inggris adalah first ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
Tata cara upacara Tigang Sasih
Di India dalam upacara ini,di sekitar pekarangan rumah dibuatkan bentuk segi empat yang di dalamnya disebarkan beras oleh sang ibu bayi tersebut, Di atas tebaran beras itu dibuatkan gambaran swastika. Dari tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi. Sebelum ditebari beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur tanah liat,lalu sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke matahari.Bayi itu dipakaikan pakaian yang layak serta indah kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).Pemujaan di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik,lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa mataharidewa bulan dan dewa angkasa.Ayah sang bayi tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar.Setelah upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang terus memangkunya,serta diberikan hadiah-hadiah .
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
Upacara weton
Upacara ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,tidak lain tujuan dari upacara ini adalah memohon kepada tuhan yang maha esa untuk keselamatan bayi tersebut,tetapi bukan hanya bayi yang dimintai keselamatannya saja tetapi juga untuk semua hewan dan tumbuhan agar dapat subur dan panjang umurnya.
Perkawinan dalam agama Hindu
Pengertian perkawinan
Adalah merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan melaksungkan pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religius(sakral)dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.[3]
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
- Batiniah,yaitu:
- pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
- mempelai harus agama yang sama
- lahiriah, yaitu:
- faktor usia
- bibit,bebet,bobot
- tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain[4]
di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana,melegandang.[5]
* Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.[6]
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
*Pedewasaan (mencari hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau seorang yang sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
* Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.
* Ngetok lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.[7]
* Cara meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi canang,ditancapkan sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi menghadap ke jalan atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan tetabuhan dangan beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai spiritual dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
* Upacara perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
- Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang timbul),agar kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala hita atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
- Upacara pekala-kalaan
* Ngerorod(merangkat)
Adalah suatu sistem orangtua berdasarkan cinta sama cinta namun tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua pihak orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem perkawinan ini tetap dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.[8]
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
* Pengelukuan(pengandeg)
Setelah dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin pria,maka dari pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke rumah calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan calon pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan kawin dengan pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai surat pernyataan dari si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan seorang pria berdasarkan cinta sama cinta.
*Penetes
Yaitu prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama kelihan adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
*Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
- Pelaksanaan upacara mekala-kalan
- Upacara mejaya-jaya
- Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita
* Nyentana(nyeburin)
Menurut arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan perkawinan”ambil anak” yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi anggota pihak keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula dengan sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak semata wayang dan tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan perkawinan secara biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi yang meneruskan ketueunan keluarga tersebut.[9]
Adalah perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara kedua pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial,yaitu bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.
Tata cara pelaksanaan :
Mengenai tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta cara membadik,jika membadik calon pengantin pria yang meminag calon pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di pinang oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di laksanakan oleh keluarga pengantin wanita.[10]
Bentuk-bentuk perkawinan
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki beberapa bentuk perkawinan menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:
Brahma Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih dahulu dihias.
Daiwa Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.
Arsa Wiwaha
Seorang ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin dari calon pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan dharma.
Prajapati Wiwaha
Mendapatkan calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua pihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut :”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu pengantin wanita memberikan penghormatan kepada calon suaminya.
Asura Wiwaha
Jika pengantin pria menerima seorang perempuan berdasarkan cinta sama cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.
Gandarwa Wiwaha
Pertemuan antara laki-laki dan wanita dan timbul nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan
Raksasa Wiwaha
Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak rumah gadis tersebut
Paisaca Wiwaha
jika laki-laki mencuri-curi,memperkosa wanita yang sedang tidur,sedang mabuk atu bingun
Dengan nemikian bentuk perawinan yang masih dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali adalah dari bentuk perkawinan Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha.Pustaka Manawa Dharmasastra 39,menyebutkan sebagai berikut :
BRAHMADISU WIWAHESU
CATURSWEWANUPURWACAH,
BRAHMWARCASWINAH
JAYANTE CISTASAMMATAH.
Maksudnya :
Dari sudut macam perkawinan yang diiuraikan berturut-turut di mulai dari cara Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha akan lahir putra yang gemilang di dalam pengetahuan weda dan dimuliakan oleh orang-orang budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra, 2002
Sudharta, Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha, 1993.
I nyoman Arhtayasa,dkk. Surabaya : Paramitha, 1998
Ngaben[1]
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben. Anggapan keliru ini kemudian mentradisi dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Dari beberapa penelusuran lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana antara lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
Pengertian
Pengertian dasar ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul etimologi itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya bekal atau biaya. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara jenis ini juga kita jumpai pada suku dayak di Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan pada suku dayak itu disebut “tibal” dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger itu dikenal dengan nama entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok dibali yaitu tirtha pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang Atma denga badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga berkonotasi halus, ngaben disebut juga sebagai palebon yag berasal dari kata prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat untau memproses menjadi tanah disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut sebagai tunon (membakar), kata lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana” (durga), dewi durga yang bersthana di tunon ini.
Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya yang dalam agama hindu tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang dikenal dengan istilah bhuwana agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit (unsure-unsur didalam tubuh) yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta yakni ; pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya segabai benda rongsokan ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur dengan alam semesta. Bahkan dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma meninggalkan badan kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik, agar sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya terakhir di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah, proses penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama, sementara sang Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben juga bukan hanya demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli waris (pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap orang berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang ( hormon laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak menerima warisan.
Tugas pretisantana adalah sampai melinggihkan dan memujanya disanggah kamulan. Hal ini berarti bhawa pelaksanaan Pitra Yadnya leluhurnya terkait dengan hukum pewarisan, seseorang pretisantana akan kehilangan hak warisnya bila ia ninggal kedaton dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben yaitu nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi jalannya upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya menyangkut waktu yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi ditentukan oleh keadaan social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa yang disebut pancaYadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban untuk para leluhur. Seperti halnya setiapYadnya (pengorbana suci), seseorang diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam lontar Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya ;
Pitra Yadnya
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan Yadnya “korban suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang tergolong Pitra Yadnya itu
- Pemeliharaan ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan serta memuaskan batinnya, yang dapat ditempuh dengan berbagai macam cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil.
- Penyelenggaraan upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
- Membersihkan sawanya (mresihin)
- Mendem atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
- Ngaben/atiwa-tiwa
- Mroras/ mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara penyucian rohnya “ Atmawedhana”. Atma yang telah disucikan di sebut DewaPitra “Pitra yang telah mencapa tingkatan Dewa “SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai symbol sawa.
Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tasn kneng hinulatan)
Sawa prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan
Sawa wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug)
Asti wedhana
Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.
Arti simbolik upakara[2]
1. Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara, tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana upakara yang berfungsi sebagaipembersihan.
2. Sarana upakara
- Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk mependhem.
- Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben, dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas mependhem”.
- Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
- Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
- Bale pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan lainnya.
- Tatukon pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
- Ganjaran serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
- Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit tubuhnya.
- Karab sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya sebagai kerudung.
- Angkep rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
- Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
- Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan tali ketikung (perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari penjalin atau bambu.
- Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan sawa) yang masuk kedalam tanah.
- Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka, tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
- Tumpang salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
- Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
- Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
- Sawa karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
- Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
- Adegan (pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
- Angenan
Symbol jantung manusia
- Sok bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
- Lis pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan isinya diletakkan pada kaki sawa.
- Kesi-kesi / jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong, kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
- Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar sebagai symbol perginya atma
- Tah mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian atma.
- Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk mengiringi kepergian atma
- Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
- Sanggah cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam upakara bebantenan
- Kaki patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama bang
- Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
- Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan
- Pemanjangan
- Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
- Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
- Bale gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai lantainya
Upacara[3]
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu sawa prateka dan sawa wedhana. Adapun tahap-tahapnya parteka ;
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan, narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.
Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam pembagiannya;
Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating dari utara yang menunjukan sasih kapat (terbukanya semua alam dewa saat yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan manusa madya).
Ngaben sarat relevansinya masa kini[4]
Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
Kondisi umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).
Masa sekarang
Telah merasuknya masa transisi pada industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Landasan filosofis
Telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha antara lain :
Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira (budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban atma.
Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang menjadi tujuan utama umat hindu.
Daftar Pustaka
Drs. Wikarman, I nyoman Singgin, Ngaben . Surabaya: Paramita. 2002
Kaler , I Gusti Ketut, Ngaben. Yayasan Dharma Naradha 1993
[1] Drs. I nyoman Singgin Wikarman “Ngaben” Paramita Surabaya 2002
[2] Ibid hal 2
[3] I Gusti Ketut Kaler “ Ngaben” Yayasan Dharma Naradha 1993
[4] I Nyoman Gustav Ali “ Menggugah Bali “
1) Tjok Rai Sudharta, Manusia hindu (Denpasar:Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 10-11
2 )Sudharta, Manusia hindu, h. 17-18
3) I nyoman Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu (Surabaya:PARAMITA,1998), hal. 1-3
4) Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu, h. 11-12
5) Sudharta, Manusia hindu, h. 73
6)Sudharta, Manusia hindu, h. 118
7)Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu(Denpasar: Mandara Sastra, 2002), h. 12-25
8)Sudarsana, Ajaran Agama Hindu, h. 73
9)Sudharta, Manusia hindu, h. 135
10) Sudarsana, Ajaran Agama Hindu, h. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar